Friday, August 20, 2010

The Sixth sense




Derap langkah itu semakin jelas. bahkan telinga terpasang tertancap pada papan-papan hangus penuh bimbang. kabut menguap menipis dalam jelaga mata-mata mengering memanggil jiwa, sekeping raga jatuh berputar melingkar maya. Bayangnya memudar, hadir, kembali. Menghantui setiap detik yang berputar di belahan hari. sunyi mendekam diam menerkam. Merobek jiwa dan pikiran.

Aku bersedih, hitam tetesan sendu yang malam. tak dapat melihat, aku buta. Cahaya? tak ada. dimana kau sembunyikan wahai angkara? demi sebuah masa, hanya karena itu engkau khianati nestapa? tidakkah kau biarkan lagi ia berayun diantara dahan-dahan mati, mencengkeram jantung bumi, berdarah dalam api.

Masih sepi kah di surga? mengapa semuanya berpuing sebelum terbuka? izinkanlah ia membuka pintu-pintu senja, kan kusambut ia dengan penuh sukacita. Masuklah, masuk merpati kecilku. Aku ingin menjamu dengan sebongkah rasa rindu. yang kini mengendap dalam rongga paru-paru, tempatku akhiri seluruh nafasku.

Jangan lagi menangis, lihatlah tubuhmu yang pucat. Tidakkah ibu menyelimutimu setiap malam? tidakkah ayah mencium pipimu sebelum ditinggalnya engkau dalam buaian? sedang mereka pun tak pernah ada, katamu. dari balik senyumku yang samar, kuyakin dapat kau terka sebuah arti yang tak asing. Terima kasih telah menjadi teman. Tapi jangan pernah menyesal. Kau akan membenciku suatu hari nanti, aku berjanji.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search